Selasa, 28 Februari 2012

Mengatasi Phobia Anak terhadap PR

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa problem orang tua dan anak sekolah dalam menghadapi banyaknya PR tidak hanya terjadi di Indonesia. Yang paling penting bagi kita sebagai orang tua adalah bagaimana strategi untuk mengatasi

masalah ini. Sebenarnya, hakekat dari pemberian PR kepada anak adalah manajemen waktu. Keberhasilan anak dalam mengelola waktunya sangat dipengaruhi oleh suri tauladan orang tua. Die Eltern als Vorbild (Orang tua adalah teladan atau contoh yang baik).

”Hai Naufal, sudah jam 5 sore kok belum mengerjakan PR (pekerjaan rumah)?”

Wajah cerita Naufal mendadak sirna bak daun layu di musim gugur. “Ich hasse Hausaufgaben” (saya benci PR)”, gumamnya sambil merengut.

Ternyata, Naufal tak sendirian membenci PR dari sekolah. Majalah Eltern di Jerman pada tahun 2005 telah melakukan survei mengenal Schulstress (stres pada anak yang berhubungan dengan sekolah). Hasilnya, sekitar 30% anak-anak kelas 3 dan 4 Grundschule (SD) tidak dapat tidur nyenyak setiap minggunya; kira-kira 17,5% dari mereka kehilangan nafsu makan; kurang lebih 11% dari mereka sering sakit perut. Satu dari 10 anak usia 13 dan 16 tahun meminum obat tidur atau penenang dan 1 dari 2 remaja meminum obat sakit kepala. Jadi secara umum, 2 dari 3 anak sekolah mengalami Schulstress. Penyebab utamanya adalah anak merasa mendapat tuntutan yang berlebihan dalam urusan sekolahnya, antara lain mengenai pelajaran di kelas, pekerjaan rumah, dan bahkan perasaan takut ketika dipanggil guru misalnya untuk mengerjakan soal di papan tulis serta menerangkan sesuatu hal di depan kelas.

Bagaimana halnya dengan kondisi di Indonesia? Ternyata setali tiga uang. Menurut Elsya, seorang pemerhati masalah-masalah sosial, banyak anak mengalami stres karena beban yang makin meningkat berupa aneka les, PR, dan tugas-tugas tambahan lainnya. Secara spesifik, beban PR pada anak sekolah saat ini memang cenderung lebih berat dibanding masa lalu. Misalnya, pada tahun 1981 anak-anak usia 6-8 tahun rata-rata menghabiskan waktu 44 menit setiap minggu untuk mengerjakan PR, kemudian meningkat tiga kalinya menjadi 129 menit/minggu pada tahun 1997.Menurutnya, guru memang punya keseragaman target yakni peningkatan prestasi murid. Hal itu diartikan secara harfiah bahwa guru mesti menyuplai lebih banyak pengetahuan ke otak siswa, walaupun jam sekolah terbatas. Akibatnya, kelebihan materi di kelas dijadikan PR, sekaligus mentransfer tanggung jawab pendidikan dari sekolah kepada keluarga.

Lebih hebat lagi, fenomena ini juga menggejala di belahan bumi yang lain. Sebagai contoh penelitian Susan J. Schwartz M.A. Ed., Victoria DeLuca, Ph.D. dari Pusat Penelitian Anak NYU di Amerika tahun 2004 menemukan bahwa waktu rata-rata yang dibutuhkan anak usia 6-9 tahun meningkat dari 44 menit/minggu pada tahun 1981 menjadi lebih dari 2 jam/minggu pada tahun 1997. Dalam sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Public Agenda Foundation di tahun 2000, sebagian besar orang tua merasa bahwa PR itu wajar diberikan pada anak sekolah. Namun, dengan semakin meningkatnya kesibukan orang tua dan anak, mereka mulai mengeluh terhadap meningkatnya beban PR, karena anak menjadi semakin sulit mengatur waktu untuk melakukan aktivitas lainnya seperti olahraga, musik dan membantu pekerjaan rumah tangga.

Kesimpulannya, kita tidaklah sendirian; ternyata problem orang tua dan anak sekolah dalam menghadapi banyaknya PR terjadi di mana-mana. Yang paling penting bagi kita sebagai orang tua adalah bagaimana strategi untuk mengatasi

masalah ini.

*****

Penulis tertarik pada saran yang diajukan oleh majalah Eltern. Prinsipnya cukup sederhana. Langkah pertama dan terpenting adalah meredakan ketegangan anak pada saat dia mengeluh. Orang tua diminta hanya mendengarkan curhat

anak, tanpa memberi komentar, tanpa memihak baik kepada anak maupun kepada gurunya, dan tanpa memberikan penilaian apakah PR-nya itu bermanfaat atau tidak. Pada kondisi itu, komentar tidak berguna bagi anak. Tuntutan agar anak berprestasi tinggi akan justru membuatnya menjadi kontra produktif (tidak termotivasi).

Setelah fase peredaan ketegangan tersebut berjalan, Susan J. Schwartz dkk. kemudian menyarankan agar orang tua bisa membangun komunikasi yang baik dengan guru. Orang tua perlu mengetahui apa saja harapan guru terhadap

anaknya. Orang tua juga perlu menyampaikan kepada guru mengenai apa saja kesulitan yang dihadapi anak; dengan demikian guru diharapkan lebih proporsional dalam memberikan PR. Singkatnya, orang tua diharapkan menjadi

jembatan antara anak dan guru. Komunikasi ini dapat dilakukan paling tidak sekali dalam satu semester.

Selanjutnya, orang tua dapat memonitor pekerjaan yang dilakukan dan memberikan semangat kepada anak. Tugas memonitor pada anak usia SD dilakukan dengan mendampinginya secara langsung; ini berbeda untuk anak yang lebih dewasa dimana anak diminta untuk lebih banyak bekerja mandiri. Jika anak memerlukan bantuan meskipun dia tidak mengatakannya maka orang tua dapat sesekali ikut terlibat. Dan jika sudah mendesak, barulah orang tua dapat

membantunya dengan program tambahan seperti les/tutorial/kursus dan bertanya kepada guru setelah selesai pelajaran.

Motivasi dan interes anak dalam mengerjakan PR tidak terlepas dari dukungan semangat dari orang tua. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menyemangati anak, misalnya memancingnya berdiskusi tentang topik yang dikerjakan, memberikan contoh-contoh nyata penerapan soal-soal, atau paling tidak menunjukkan wajah yang cerah dan doa yang bermanfaat pada saat anak mengerjakan PR. Profesor Eva M. Pomerantz, seorang ahli psikologi perkembangan dari the University of Illinois di Urbana-Champaign mendukung saran-saran seperti ini. Pada intinya, anak diarahkan agar menjadikan PR lebih sebagai tantangan atau kesempatan agar bisa lebih berkembang di masa depan, bukan sebagai beban atau ancaman.

*****

Sebenarnya, hakekat dari pemberian PR kepada anak adalah manajemen waktu. Jika PR diberikan secara proporsional, maka anak dapat membangun kebiasaan mengatur waktu, kapan waktu untuk bermain, belajar, olahraga, rekreasi, makan, beristirahat, dan agar tidak lupa beribadah. Bila anak bisa belajar mengatur waktunya, maka secara perlahan ia akan dapat menyeimbangkan perhatiannya pada hal-hal yang lebih bermanfaat, sehingga dapat mengurangi kecanduan nonton TV, main video game, main kartu atau baca komik.

Keberhasilan anak dalam mengelola waktunya sangat dipengaruhi oleh suri tauladan orang tua. Jürgen Kura dari WDR Jerman tahun 2004 mengatakannya dengan ungkapan sederhana Die Eltern als Vorbild (Orang tua adalah teladan atau contoh yang baik).

*) Penulis adalah staf pengajar FE Unpad Bandung, ibu dua anak. Saat ini sedang meneruskan studi di Jerman.

Referensi :

1. Elsya,Pekerjaan Rumah, Motivator atau Beban?, Harian Pikiran Rakyat, 27 Februari 2005

2. Kura, Bloß kein Stress! Zeitmanagement für Kinder. Kinder und Zeit -Servicezeit Familie,

http://www.wdr.de/tv/service/familie/sendung, 9 Juni 2004

3. Schulstress, www.eltern.de, 2005

4. Schwartz, et.al. Homework: trials and tribulations, The Parent Letter, vol. 2 issue 6, February 2004

5. Pomerantz, et.al. Staying positive when helping a child with homework stimulates motivation. News Bureau, the

University of Illinois at Urbana-Champaign, 14 Maret 2005.

We R Mommies | WRM Indonesia

http://wrm-indonesia.org We R Mommies Indonesia! Generated: 25 February, 2010, 09:14

Sabtu, 18 Februari 2012

Profil Ideal Muslim

Dalam Al-Quran terdapat beberapa kelompok orang yang secara langsung disebut sebagai penyandang atau pemilik yang dalam bahasa Arab disebut dengan ulul yakni:

· ulul absar (QS. 3:13 ; QS. 59:2) yaitu orang yang memiliki penglihatan atau akal pikiran

· ulul albab (QS. 3:190) yaitu orang yang memiliki hati, intelektual dan akal budi untuk memahami dan mengahayati

· ulul ‘ilmi (QS. 3:18) yakni orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan yang digambarkan sebagai orang yang kokoh menegakkan keadilan

· ulul amri (QS. 4:59) yakni orang yang memiliki kepercayaan untuk dapat melarang orang lain dari berbuat buruk

· ulul nuha (QS. 20:54 dan 128) yaitu orang yang memiliki kepercayaan untuk dapat melarang orang lain dari berbuat buruk.

Kelima sifat yang mengikuti kelompok-kelompok di muka seperti memiliki pikiran, pemahaman, ilmu, akal budi, dan kekuasaan dapat dipahami secara terpisah atau terintegrasi (disatukan). Secara terpisah maksudnya memang dalam kehidupan ini terdapat kelompok-kelompok yang mengkhususkan dirinya dalam ciri tersebut. Secara terintegrasi berarti untuk menjadi ulul amri seseorang terebih dahulu harus menjadi ulul abshar, ulul ‘ilm, dan ulul albab. Dengan demikian seseorang yang dapat diberi kepercayaan adalah mereka yang telah memiliki kemampuan menggunakan akalnya untuk melihat, menyimpulkan menjadi sebuah ilmu dan memiliki kedalaman pemahaman serta kearifan.

Dalam relitas empiris, kehidupan sehari-hari di sekeliling kita menunjukkan bahwa kelima kelompok di muka memiliki tempat yang khusus dalam kehidupan ini. Jika seseorang memiliki kelima sifat tersebut di muka ia akan memperoleh tempat terpuji di masyarakat, bahkan hanya memiliki satu sifat saja tampaknya seseorang itu akan siap hidup. Bayangkan jika anda memiliki abshar, ‘ilm, albab, dan amri, anda akan menjadi orang bermanfaat bagi orang banyak begitu juga sebaliknya.